Postingan

hidup yang begini-begini saja.

Gemericik kolam koi memenuhi telinga, sesekali suara decit burung ikut meramaikan isi kepala. Hembusan napas mulai terasa berat, pukul lima masih lumayan lama. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Pekerjaan yang sebenarnya diada-adakan. Seharian aku hanya memandangi jarum jam, berharap semua segera berakhir dan aku kembali ke liangku. Begitu terus sampai tak terasa sudah dua tahun aku disini. Jemariku semakin handal mengetik cerita, lidahku mulai lihai bersilat. Ilmu menghilang dan jurus mencuci tanganku semakin handal. Banyak orang menjadi panutanku dan banyak guru yang mengajariku. Tapi bukan itu semua yang ingin kudapatkan sebenarnya. Scroll sosial media menjadi salah satu jalan untuk menghabiskan waktu. Hingga satu hal yang mengganjal di hatiku dan terus berputar di benakku. Aku banyak tertinggal diantara yang lain. Handphoneku yang butut. Tasku yang tak semahal milik yang lain. Pakaianku yang itu-itu saja. Sepatuku yang tak pernah ganti. Saldo rekeningku yang tak pe

your going to be ok.

Isn't it crazy, how we can put so much effort into someone who don't have same energy? You just keep lying to yourself hoping it will get better but in reality it's just getting worst. You just denial with everything what you feel, what you watch, and what you do. Sometimes you feel happy just because he do the small thing to you like respond your chat quickly or keeping his promise to give you a call.  But in the other day, you realise that he do the same with the other too. That's a sign but you keep trying to hurt yourself. How stupid you are! When you getting tired, you wanna give up on that one person but in the end of the day you going back, keep thinking that everything will be okay and everything will be change.  He ain't worth those tears. You have to love yourself before you can love somebody else. Stop worrying about that one person who ain't puttin effort into you. You learned that hard way, they may be going through things and you wanna help but som

the last person I was thinking about before I go to bed.

Ini aku tulis untukmu yang namanya tak akan lagi aku sebut. Perjalanan kita akhirnya selesai setelah semuanya berjalan di tempat. Aku dan kamu yang tak berujung menjadi kita. Aku dan kamu yang akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hidup masing-masing. Pertemuan kita seolah sudah diatur semesta. Semua terancang mudah seakan memang sudah jalannya. Tapi ternyata badai menghancurkan semuanya. Rasa yang tumbuh perlahan seolah hilang hanya semalam. Teriakan masih membekas di tenggorokan, sembab di mata masih membekas, dan dirimu sudah pergi dari dekapan. Aku dan kamu yang terlalu sibuk dengan dunia kita masing-masing tanpa ada yang sadar bibit curiga mulai tumbuh. Ia menjadi gulma di pohon yang kita tanam sejak lama. Semua resah membaur tanpa kejelasan yang padahal kita sudah tahu bagaimana cara untuk menjawabnya. Aku ikut andil memupuk luka untukku sendiri sedangkan dirimu punya tanggung jawab merawat lukaku. Jarak yang tadinya tak jadi masalah kini menjelma menjadi alasan mengap

another timeline, another life.

Setelah siang hari aku belagak kuat, malamku dihiasi hujan air mata tanpa ada tanda-tanda mendung sebelumnya. Pojok kamar lembab dan bantal tidurku menjadi saksi bisu. Semua yang tak bisa kukatakan meluap begitu saja. Hingga kadang aku lelah dan tak sadar pagi kembali datang dan aku versi yang lain muncul. Kukira itu semua karena beban pekerjaan yang tak ada hentinya di pabrik tahu bulat tapi nyatanya ketika pabrik sepi, aku tetap seperti itu. Lelapku enggan datang. Hanya ada aku dan lelehan kesedihan yang menemani. Aku masih berusaha mencerna semua yang terjadi. Mungkin aku terlalu berjarak dengan yang Kuasa. Obat yang lama tak kusentuh nyatanya malah kembali rutin ku jamah. Seminggu tak berdaya di dalam kamar membuatku semakin merasa tak punya siapa-siapa. Notifikasi handphone kuabaikan. Paling hanya ibu mess yang sesekali menyuruhku untuk makan atau satu dua orang teman yang mengirimiku makanan. Ya, hanya karena tak ada notifikasimu aku merasa tak punya siapa-siapa. Kukira aku sudah

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat

Setelah semua yang terjadi, aku percaya kalau semua orang berwarna abu-abu. Tak ada dari mereka yang berwarna putih atau hitam setelah mereka membaur menjadi satu di sini. Mereka yang awalnya berwarna putih akan menjajal dunia hitam. Walau kadarnya berbeda, toh mereka akan menjadi keabuan. Sedang mereka yang berwarna hitam, tak mungkin selamanya hitam. Ada beberapa sisi yang masih berwarna putih, kembali lagi dengan kadar yang berbeda juga. Setiap sikap baik yang mereka lakukan berbumbu curiga. Tak tahu apa motifnya, pikiranku selalu menjadi negatif. Aku tak percaya ada ketulusan hati disetiap sikap yang mereka tunjukan. Pasti ada secuil maksud yang mereka inginkan. Aku sebenarnya tak ingin sikap ini mematikan langkahku lagi. Lama-kelamaan ini bisa menjadi racun untuk aku sendiri. Aku takut aku tertular sikap mereka yang selalu ada maksud ketika dekat dengan orang lain. Tapi bagaimana aku bisa membangun percayaku kalau tiap kali semua sudah siap harus dihancurkan dengan sikap mereka? H

perayaan patah hati.

Aroma solar, rokok, pop mie, dan air laut bercampur. Gemuruh suara mesin dan teriakan pedagang menjajakan dagangannya diselingi dengan suara Nadin yang tak lelah menemani. Barisan pulau, lampu kota yang berkedip malu, dan penumpang yang lalu lalang mencari posisi terbaik meramaikan pemandangan. Semua berdendang indah selaras dengan gerak tenang ombak Selat Sunda. Gerimis kembali menyapa. Alam seolah menyemarakkan perayaan patah hatiku. Aku turut senang, kamu menemukan belahan jiwamu. Orang yang selama ini kamu perjuangkan dan tunggu. Tak ada yang salah dengan ini semua. Hanya ada aku dan ekspektasiku yang menenggelamkanku dalam kepedihan yang berlarut. Paling tidak dengan kehadiranmu yang sebentar, aku menjadi tahu kalau aku tidak sepenuhnya mati rasa. Masih ada sisa-sisa perasaan yang sementara ini kembali kosong. Sembari aku membersihkan serpihan lukaku, ijinkan aku merayakan kesedihanku agar nanti ketika seseorang datang, aku tak melukainya dengan puing peninggalanmu. Sekali lagi se

perjalanan mencari rumah.

Badai yang katanya datang menghantam tak kunjung mereda. Semua sibuk mengitariku. Tak hanya satu atau dua, masalah datang beramai-ramai. Semua berotasi seolah aku sumber dari segala sumber. Air mata sudah tak mampu melegakan pikiran. Aku kembali lagi menguji lambung lewat air perjamuan. Apa semua akan reda setelahnya? Paling tidak aku bisa melupakan semuanya sesaat. Entah ini sarapan atau makan malam, semua jadi tak ada bedanya buatku. Sayup suaramu jauh di sambungan telepon tapi aku terus menguatkan iman kalau dirimu bukan milikku dan aku bukan siapa-siapa bagimu. Semua yang ada nyatanya fana. Aku hanya seseorang yang mampir di teras rumahmu dan kamu menyapaku dengan ramah. Aku yang tak pernah dianggap menjadi merasa besar kepala dan menganggapmu hanya seperti itu kepadaku. Setelah pintu terbuka, aku melihat deretan fotomu bersama wanita lain dan aku langsung tersadar. Ternyata kamu bukan rumah yang aku cari. Aku sudah tak terlalu bersedih bukan karena ini bukan kali pertama, bukan ka